Kenali Gejala Khas TB pada Anak
Kita baru saja merayakan Hari Anak Nasional 2025. tema Hari Anak Nasional tahun ini adalah “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045”. Isu-isu seputar kesehatan anak masih menjadi tantangan menuju Indonesia Emas. Misalnya kasus stunting, gizi buruk, dan juga penyakit pada anak seperti tuberkulosis (TB).
TB pada anak menjadi perhatian khusus dalam kegiatan Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Nasional ke-5 di Akselerasi Puskesmas Indonesia (APKESMI) di Balikpapan, Kalimantan Timur pada 24 Juli lalu.
Berdasarkan Global TB Report 2024, Indonesia menempati posisi kedua tertinggi di dunia dengan sekitar 1,09 juta kasus dan 125 ribu kematian akibat TB setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, sekitar 135 ribu kasus terjadi pada anak usia 0–14 tahun. Anak-anak termasuk kelompok paling rentan karena sistem imunitas yang belum berkembang sempurna, terutama jika mengalami malnutrisi.
TB Mengganggu Tumbuh Kembang Anak
Dokter Spesialis Anak, dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K) menjelaskan, sebagian besar anak dengan TB berisiko mengalami malnutrisi. Anak dengan TB, terutama yang mengalami malnutrisi membutuhkan asupan gizi yang seimbang, padat energi dan kaya protein untuk membantu memperbaiki jaringan tubuh dan memperkuat sistem imun serta memulihkan kondisi malnutrisinya.
Pemenuhan gizi makro dan mikro juga menjadi kunci penting untuk mempercepat proses pemulihan dan menjaga daya tahan tubuh anak. Jika nafsu makan anak sangat rendah atau berat badan tidak kunjung naik atau kondisi malnutrisi yang tidak semakin membaik, segera dikonsultasikan ke dokter spesialis anak untuk dilakukan evaluasi penyebab dan komorbiditas.
Dokter biasanya akan mempertimbangkan pemberian pangan olahan kebutuhan medis khusus (PKMK) dengan nutrisi lengkap dan kalori yang lebih tinggi, sebagai salah satu upaya untuk membantu pemenuhan gizi harian dan mengatasi masalah nutrisi yang terjadi.
"Selain itu, pemantauan pertumbuhan serta menjaga pola makan bergizi seimbang harus juga harus dilakukan. Tenaga kesehatan dan fasilitas layanan kesehatan terdekat dapat membantu melakukan pemantauan dan edukasi yang diperlukan. Orang tua memiliki peran penting dalam memastikan pengobatan TB dijalani secara rutin dan sesuai anjuran dokter, termasuk asupan makanan yang tepat,” jelas dr. Titis.
Waspada Gejala TB pada Anak
Sementara itu, Ketua Umum Akselerasi Puskesmas Indonesia (APKESMI), Kusnadi, SKM., Mkes, menyampaikan saat ini masih banyak tantangan di lapangan, seperti rendahnya kesadaran untuk memeriksakan diri saat bergejala, serta ketidakkonsistenan dalam menjalani pengobatan yang berlangsung hingga enam bulan.
Gejala TBC pada anak seringkali tidak khas dan mirip dengan penyakit lain, namun beberapa gejala yang perlu diwaspadai meliputi:
1. Batuk berkepanjangan:
Batuk yang berlangsung lebih dari dua minggu dan tidak membaik dengan pengobatan biasa. Batuk ini bisa disertai dahak berwarna hijau kekuningan yang menandakan adanya infeksi.
2. Demam:
Demam ringan yang berlangsung lebih dari dua minggu dan tidak kunjung sembuh, bahkan setelah minum obat penurun panas. Demam bisa naik turun.
3. Penurunan berat badan atau gagal tumbuh
Anak kehilangan berat badan tanpa sebab yang jelas atau berat badannya tidak naik dalam beberapa bulan, meskipun sudah diberikan gizi yang cukup.
4. Lesu dan tidak aktif:
Anak menjadi mudah lelah, kurang bersemangat, dan terlihat tidak seaktif biasanya.
5. Berkeringat di malam hari:
Mengalami keringat berlebihan pada malam hari, bahkan tanpa melakukan aktivitas fisik.
Gejala Lainnya:
Pembengkakan kelenjar getah bening: Terutama di area leher atau ketiak.
Nafsu makan menurun: Anak kehilangan nafsu makan atau makan lebih sedikit dari biasanya.
Batuk darah: Meskipun jarang terjadi pada anak-anak, batuk darah bisa menjadi gejala TBC.
Sesak napas: Terutama jika infeksi TBC sudah menyebar ke paru-paru.
Kejang dan penurunan kesadaran: Jika infeksi TBC menyerang sistem saraf, bisa menyebabkan kejang dan penurunan kesadaran.
Mums, pemerintah sudah menyediakan program deteksi dan pengobatan TB di seluruh Puskemas. Karena itu, APKESMI mendorong Puskesmas untuk tak hanya berperan dalam pengobatan, tetapi juga aktif dalam edukasi, penyuluhan, serta membentuk komunitas penyintas TB yang bisa memberi motivasi. Saat ini, Puskesmas juga telah dilengkapi alat Tes Cepat Molekuler (TCM) untuk deteksi tuberkulosis (TB), dan distribusi paket pengobatan pun sudah berjalan baik.
Selain penguatan layanan primer, penanganan TB pada anak juga perlu disertai intervensi gizi yang tepat. TB juga bisa berdampak pada tumbuh kembang dan fungsi kognitif anak. Jika tidak ditangani sejak awal, kondisi ini dapat memperburuk infeksi, menghambat proses pengobatan dan menyebabkan malnutrisi seperti stunting, hingga berisiko menurunkan kualitas hidup.
Intervensi gizi juga sangat penting, karena sebagian besar anak dengan TB yang berisiko mengalami malnutrisi. Jika tidak ditangani sejak awal, malnutrisi bisa menurunkan daya tahan tubuh dan menghambat efektivitas pengobatan. Jika tidak ditangani sejak awal, kondisi ini dapat memperburuk infeksi, menyebabkan stunting, hingga menurunkan kualitas hidup.
Dengan pengobatan yang tepat dan pemenuhan gizi seimbang atau intervensi gizi yang tepat, anak dengan TB memiliki peluang besar untuk pulih dan tumbuh optimal. Hal ini sekaligus menjadi upaya dalam mendorong pencapaian target eliminasi TBC 2030 dan terwujudnya Generasi Emas Bebas Stunting.
-
# TBC
-
# Tuberkulosis Paru (TBC)
-
# Anak