Ana Yuliastanti
16 Agustus 2024
shutterstock

Perbaikan Gizi Anak Indonesia dengan Memperluas Akses Konsumsi Protein Hewani

Isu dan persoalan stunting atau tengkes masih menjadi tantangan bagi negara kita. Dalam beberapa tahun terakhir, melalui berbagai program penanganan stunting dari pemerintah, sudah terlihat tren positif. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di 2022. Meskipun bisa diturunkan, namun nampaknya masih sulit mencapai target 14% di tahun 2024 yang tinggal menghitung bulan ini.


Tetapi, seperti dijelaskan Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, dari Pusat Kajian Gizi & Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, negara kita sudah ada di jalur yang tepat dalam memerangi stunting. Hal ini karena pemerintah sudah memasukkan protein hewani sebagai komponen penting nutrisi untuk pencegahan stunting.


“Kita sudah berperang melawan stunting sejak tahun 2012, namun Menteri Kesehatan sendiri baru bicara tentang protein hewani tahun 2022,” jelas Prof. Fika dalam acara kick off dan press conference Apresiasi Karya Jurnalistik Japfa (AKJJ) pada Kamis, 8 Agustus 2024, di Jakarta.

Baca juga: Pentingnya ASI Berkualitas Agar Persoalan Stunting Segera Tuntas


Mengapa Protein Hewani?

Protein adalah senyawa kimia yang terdiri atas berbagai asam amino yang berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur bagi tubuh. Menurut Prof. Fika, tubuh membutuhkan sebanyak 20 jenis asam amino. Sembilan di antaranya adalah asam amino esensial (AAE) yang harus didapatkan dari makanan. Sumber AAE terbaik adalah dari protein yang berasal dari pakan hewani.


“Protein hewani memiliki asam amino esensial yang lebih lengkap dan lebih banyak dibandingkan protein nabati. Selain itu pakan hewani juga memiliki kandungan vitamin dan mineral yang beragam dan kaya serta kualitasnya lebih baik dibandingkan pangan nabati,” ungkap Prof. Fika.


Selain unggul dalam kandungan asam amino esensial, protein hewani mengandung zat gizi yang tidak ada pada pangan nabati, di antaranya:

1. Sumber zat besi dan zinc yang lebih mudah diserap tubuh dibandingkan dengan zat besi non-heme dari sumber nabati.

2. Vitamin B12, yang bermanfaat untuk fungsi saraf dan produksi sel darah merah.

3. Faktor anti-nutrient rendah, dalam hal ini serat. Serat belum terlalu dibutuhkan oleh bayi dan anak di masa pertumbuhan.

4. IGF-1 yang dapat meningkatkan tinggi badan, namun zat ini khusus hanya ada di susu.


“Jadi sudah tepat memasukkan kembali protein hewani ke agenda penurunan stunting. Sudah banyak penelitian yang mengaitkan protein dengan penurunan stunting. Salah satunya studi terhadap 313 anak usia 12-59 bulan di Malawi, di mana ditemukan sebanyak 62% anak mengalami stunting. Anak-anak dengan risiko tinggi stunting ini tidak menerima asupan asam amino esensial dan kolin yang cukup dibandingkan dengan anak-anak yang tidak stunting,” jelas Prof. Fika.


Analisis terhadap 112,553 anak usia 6-23 bulan dari 49 negara menemukan bukti hubungan kuat antara kejadian stunting dan konsumsi protein hewani seperti konsumsi susu, daging, ikan, dan telur. Di antara anak-anak usia 18–23 bulan, terjadi pengurangan stunting setelah mengkonsumsi susu, telur, dan daging/ikan sebesar 6,6 poin, kemudian 3,4 dari susu, 1,3 poin dari telur, dan 2,1 poin dari daging/ikan.


Baca juga: Tips Mengolah dan Menyimpan Daging Ayam Biar Terjaga Kesegaran dan Kandungan Gizinya!


Konsumsi Protein Hewani perlu Ditingkatkan dengan Diversifikasi Produk Peternakan


Melihat peran protein hewani yang sedemikian penting dalam pencegahan stunting, maka konsumsi di mayarakat perlu ditingkatkan, terutama pada ibu hamil, menyusui, serta bayi dan balita hingga umur 2 tahun.


“Jadi kalau kita mau menurunkan stunting, tetapi tanpa protein hewani, sama saja usaha sia-sia. Sekarang saja, dengan promosi protein hewani, angka stunting turun hanya 0,1%. Kalau hanya bicara pangan lokal saja tanpa protein hewani akan sulit. Karena pangan lokal itu sangat luas dan bervariasi. Tahu dan tempe yang dipromosikan menjadi pangan lokal bergizi memang mengandung protein, namun tidak sebaik protein hewani,” papar Prof. Fika.

WHO tahun 2021 sudah menyatakan bahwa daging, unggas, ikan atau telur harus dimakan anak setiap hari, atau sesering mungkin. Sayangnya saat ini konsumsi makanan hewani di Indonesia masih sangat rendah.

Melvany Kasih, Head of JAPFA Food Solutions menjelaskan, konsumsi protein hewani di Indonesia masih jauh di bawah rata-rata konsumsi pakan hewani dunia. Sebagian besar konsumsi pakan hewani masyarakat Indonesia disumbang dari masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Rata-rata pengeluaran masyarakat Indonesia menurut kelompok komoditas makanan, terbanyak untuk makanan dan minuman jadi (31%), semantara untuk daging hanya 5%.

"Daging memang relatif mahal, dan wajar jika tingkat konsumsinya rendah. Tetapi untuk produk hasil perunggasan merupakan sumber protein hewani yang murah dan terjangkau. 70% konsumsi protein hewani di Indonesia berasal dari unggas terutama daging ayam," tambah Melvany.


Guna meningkatkan asupan protein hewani, maka akses terhadap makanan hewani perlu dipeluas. Apalagi, menurut Melvany, kalau melihat data, maka suplai produksi daging ayam dan telur ayam masih sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Japfa Food menghadirkan akses protein hewani yang terjangkau masyarakat. "Kami menyediakan berbagai macam protein hewani dari produk protein primer berupa ayam, daging sapi, ikan, dan susu, hingga produk protein turunannya berupa daging olahan, keju dan yoghurt, saus dan bumbu,” jelas Melvany.


Dengan variasi produk yang luas, Japfa Food menyediakan produk yang bisa dijangkau semua kalangan, mulai masyarakat berpendapatan tinggi hingga menengah ke bawah. “Dengan begitu semua orang bisa mengakses pakan hewani yang sehat untuk mendukung program perbaikan gizi dan penurunan stunting,” pungkas Melvany.


Prof. Fika juga sepakat bahwa diversifikasi pangan adalah strategi untuk mengurangi risiko masalah gizi dengan menyediakan berbagai jenis produk atau sumber daya. “Tidak ada satu satu jenis makanan yang bisa menyediakan semua zat gizi. Makanya, mengonsumsi beberapa jenis pangan hewani juga lebih menguntungkan daripada mengonsumsi sumber protein tunggal seperti ayam saja, atau daging, telur, seafood saja,” tambah Prof. Fika.

Diversifikasi pangan lanjutnya, dilakukan untuk mengurangi risiko ketergantungan pada satu jenis sumber makanan, meningkatkan ketahanan pangan, dan memenuhi kebutuhan gizi yang lebih beragam. Selain itu, diversifikasi juga memberikan fleksibilitas dalam pemilihan makanan sesuai dengan preferensi dan anggaran.


Sumber:

  1. JAPFA Food, Sektor Hilir JAPFA Tawarkan Solusi Protein Hewani Aman dan Terjangkau

  • Kontribusi Protein pada Status Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Prof. Dr. drg . Sandra Fikawati, MPH

    1. Yankes Kemenkes. Mengenal Apa Itu Stunting.

    • # Gizi
    • # Gizi Anak
    • # Stunting