Apakah Berhenti Merokok Tanpa Bantuan Tenaga Medis Bisa Berhasil?
Berhenti dari kebiasaan merokok, terutama bagi mereka yang sudah adiksi atau kecanduan memang tidaklah mudah. Namun, jika sudah kecanduan, apakah bisa berhenti merokok tanpa bantuan tenaga medis? Simak pengalaman dari mantan perokok dan pandangan ahli mengenai hal ini.
Salah satu narasumber GueSehat, Steven Vionardo (24), awalnya penasaran untuk mencoba merokok karena melihat teman-temannya. Ia pun mulai berkenalan dengan rokok pada 2010. “Berawal dari 1 batang, sampai akhirnya bisa 2 bungkus sehari,” ujarnya.
Lama-kelamaan, ia sering merasa nyeri di dada saat bermain futsal atau naik gunung. Ia juga mudah merasa kelelahan padahal baru sebentar beraktivitas. Karenanya, ia memutuskan untuk pergi ke dokter.
Seperti yang bisa diduga, Steven disarankan untuk mengurangi rokok. Namun, ia tidak langsung menurutinya. “Karena tetap merasa sesak dan nyeri, saya berkonsultasi lagi ke dokter lain. Sarannya tetap sama, yaitu berhenti merokok. Saya pun memutuskan untuk melakukannya pada pertengahan 2016,” ungkapnya.
Steven yang sudah merokok selama 6 tahun itu akhirnya memutuskan untuk langsung berhenti tanpa bantuan tenaga medis. “Langsung berhenti saja, tidak mengurangi rokok secara bertahap. Menurut saya, kalau ingin berhenti memang harus komitmen dari diri sendiri dulu,” ujar Steven kepada GueSehat.
Berbeda dengan Steven yang ingin berhenti merokok karena alasan kesehatan, Sigit Sarwono (61) yang sudah merokok sejak 1973 hingga 1990 justru memutuskan untuk berhenti merokok ketika anak pertamanya lahir.
“Saya masih ingat niat dan cita-cita saya berhenti merokok tepat pada 00.05, 21 November 1990. Saat itu, saya sedang menunggu istri melahirkan anak pertama di RS Bersalin. Waktu mendengar tangisan pertama anak, saya berjanji untuk berhenti merokok,” kenang Sigit.
Sigit pun memutuskan untuk langsung membuang rokok dan korek gas yang dimilikinya. “Saya sadar kalau saya tetap merokok, orang lain, terutama anak kandung saya sendiri, ikut mengisap asap ataupun bau rokok tersebut. Apa jadinya?” cerita Sigit kepada GueSehat.
Kedua mantan perokok di atas memang memutuskan untuk langsung berhenti merokok tanpa bantuan tenaga medis. Namun, apakah metode tersebut efektif? Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K)., efektif atau tidak sebenarnya tergantung dari motivasi diri sendiri.
“Data dari RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki motivasi rendah dalam berhenti merokok, tingkat keberhasilannya hanya sekitar 30%,” ungkapnya saat ditemui GueSehat.
Namun, menurut dr. Agus, kalau motivasi untuk berhenti merokok tinggi, tingkat keberhasilannya pun mencapai 70%. Oleh karena itu, jika ingin berhenti merokok, akan lebih efektif jika memang sudah memiliki motivasi atau keyakinan dalam diri sendiri yang kuat.
Walau beberapa orang bisa langsung berhenti merokok, sebagian lainnya mungkin perlu menerapkan metode-metode tertentu untuk berhenti merokok.
“Berhenti merokok bisa juga dilakukan secara bertahap. Misalnya, jika ingin berhenti merokok dalam seminggu, bisa dikurangi jumlah rokoknya per hari hingga tidak merokok lagi,” jelas dr. Feni Fitriani Taufik, Sp.P(K), M.PdKed., kepada GueSehat.
Selain dengan mengurangi jumlah rokok yang diisap, tambah dr. Feni, berhenti merokok juga bisa dilakukan dengan menunda jam merokok. Kalau terbiasa merokok pada pukul 07.00, bisa ditunda menjadi pukul 09.00. Pada hari berikutnya, ditunda lagi. Jadi, lama-kelamaan akan berhenti merokok.
Saat beberapa orang mengalami gejala putus nikotin (withdrawal) setelah berhenti merokok, tidak demikian dengan Steven dan Sigit. Mereka mengaku tidak merasakan gejala apa pun. “Saya tidak merasa cemas, tidak enak, atau apa pun. Mungkin karena saya komitmen untuk berhenti merokok dan sadar manfaatnya bagi kesehatan,” tambah Sigit.
Lantas, mengapa ada orang yang bisa mengalami gejala putus nikotin (withdrawal), seperti stres, cemas, atau gejala lainnya? Menurut dr. Agus, hal ini tergantung pada seberapa kuat adiksi seseorang terhadap rokok.
“Tidak semua orang sama. Pada social smoker (mereka yang merokok saat berada di lingkungan sosial), gejala putus nikotin mungkin ringan, namun tidak dirasakan atau disadari oleh mereka,” jelas Ketua Umum PDPI itu saat diwawancarai oleh GueSehat.
Berbeda dengan social smoker, perokok dengan tingkat adiksi yang kuat bisa saja mengalami withdrawal yang cukup berat. Gejala-gejalanya antara lain stres, mudah marah, hingga depresi.
Menurut dr. Feni, kalau sudah mencoba berhenti merokok tanpa bantuan siapapun tetapi mengalami gejala withdrawal yang cukup berat, jangan ragu untuk berkonsultasi ke dokter. “Kalau timbul gejala putus nikotin, bisa meminta bantuan dari dokter,” tutup Ketua Pokja Masalah Merokok PDPI itu. (AS)
-
# Rokok
-
# Pernapasan
-
# Anti Hoaks