Beragam Upaya untuk Berhenti Merokok
Dengan jumlah perokok yang kian meningkat setiap tahunnya, GueSehat mewawancarai secara eksklusif para ahli untuk membahas lebih lanjut mengenai upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok serta berbagai terapi berhenti merokok yang bisa dilakukan dari sisi medis.
Perokok Terus Meningkat!
Jumlah perokok di Indonesia setiap tahunnya terus bertambah. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, jumlah perokok di atas 15 tahun mencapai 33,8% dari total penduduk di Indonesia. Angka ini mengalami peningkatan dari 32,8% pada 2016 menurut Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas).
Selain itu, jumlah perokok pada generasi muda juga mengalami peningkatan. Masih menurut hasil Riskesdas 2018, prevalensi merokok pada penduduk berusia 10-18 tahun mencapai 9,1%, dengan prevalensi sebelumnya sekitar 8,8% menurut Sirkesnas 2016.
Merokok sebenarnya bukan lagi menjadi kebiasaan yang baru. Hampir setiap orang mungkin juga sudah mengetahui bahaya atau dampak kesehatan dari merokok. Lalu, kenapa jumlah perokok terus meningkat?
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), jumlah perokok yang terus meningkat disebabkan oleh perusahaan-perusahaan rokok masih gencar mengiklankan produk mereka.
“Iklan rokok itu tidak pernah menunjukkan kalau merokok dapat menimbulkan penyakit atau bahaya kesehatan,” ungkap dr. Agus saat diwawancarai GueSehat.
Justru menurut dr. Agus, iklan rokok hanya menampilkan sisi positif. “Misalnya jadi artis atau muncul di acara-acara olahraga. Pada akhirnya, generasi muda terpengaruh, apalagi remaja. Kalau sudah mencoba dan jadi adiksi atau kecanduan, akan sulit untuk lepas dari rokok,” jelasnya.
Tidak hanya itu, dr. Agus mengungkapkan bahwa iklan bahaya rokok (pictorial health warning) yang tertera dalam bungkusnya dinilai kurang efektif untuk mengurangi jumlah perokok pemula, meskipun berhasil mengurangi jumlah perokok lama.
“Kalau dilihat dari faktanya, jumlah perokok itu justru makin naik. Artinya, dampak pictorial health warning tidak begitu signifikan atau kurang mengena bagi perokok pemula,” ungkap dr. Agus kepada GueSehat.
Bagaimana Cara Menguranginya?
Dokter Agus menegaskan, salah cara untuk menguranginya ialah dengan komitmen dari pemerintah. "Bagaimana komitmen pemerintah mengurangi atau membatasi akses terhadap rokok? Hal inilah yang penting. Kalau aksesnya dibatasi dan dikurangi, jumlah perokok akan turun. Akhirnya, orang yang terkena dampak rokok pun kecil,” jelas dr. Agus.
Meski sudah mengetahui dampaknya bagi kesehatan, tetapi banyak perokok yang merasa sulit berhenti. Hal tersebut, diterangkan oleh dr. Agus, karena sudah termasuk ke dalam siklus adiksi. Kesadaran untuk berhenti merokok secara personal juga cenderung kecil. Padahal berdasarkan data statistik, sekitar 7-10 orang sebenarnya ingin berhenti merokok.
Namun, yang berhasil dengan upaya sendiri hanya sekitar 1-2 orang. “Seharusnya ada program yang mengajak untuk berhenti merokok, misalnya dari perusahaan atau butuh juga dukungan dari keluarga,” tambah dokter spesialis paru dari RSUP Persahabatan itu.
Menurut dr. Feni Fitriani Taufik, Sp.P(K), M.PdKed, ada faktor lain yang membuat seseorang sulit sekali untuk berhenti merokok.
“Karena dampaknya tidak langsung terasa. Penyakit akibat merokok baru timbul setelah sekian lama merokok. Ada 7.000 zat racun dalam rokok yang memengaruhi sistem dalam tubuh, mulai dari pembuluh darah, paru-paru, saluran cerna, serta gigi dan mulut,” ungkapnya saat ditemui GueSehat.
Dokter Feni yang juga Ketua Pokja Masalah Rokok PDPI menambahkan, nikotin dalam rokok bisa merangsang otak untuk mengeluarkan hormon dopamin yang memberikan rasa nyaman.
”Nikotin dapat memberikan rasa nyaman, misalnya dari tidak bisa berpikir menjadi bisa berpikir. Saat nikotinnya diputus, rasa tidak nyaman itu akan muncul, mulai dari stres, depresi, mudah marah, tidak bisa berpikir, hingga nafsu makan yang meningkat,” ujar Ketua Pokja Masalah Rokok PDPI itu.
Apa yang Bisa Dilakukan Jika Ingin Berhenti Merokok?
Secara garis besar, ada 3 layanan upaya berhenti merokok, yaitu melalui layanan berhenti merokok di tingkat primer, seperti puskesmas ataupun klinik-klinik, di tingkat sekunder yaitu di rumah sakit, serta layanan Quit Line melalui telepon.
Di tingkat primer, pendekatan untuk berhenti merokok yang sudah dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan melalui puskesmas di 33 provinsi ialah konseling dan peningkatan motivasi atau motivation support.
“Pendekatan konseling ini ada beberapa macam, yaitu melalui pendekatan 5A (Ask, Advice, Assess, Assist, Arrange), pendekatan ABC (Ask, Brief Advice, Cessation Support), atau di Indonesia menggunakan pendekatan 4T (Tanyakan, Telaah, Tolong dan Nasihati, serta Tindak Lanjut),” jelas dr. Agus kepada GueSehat.
Namun perlu diingat, jika ingin benar-benar berhenti merokok, modal awal yang harus dimiliki ialah motivasi. “Data dari RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki motivasi rendah dalam berhenti merokok, tingkat keberhasilannya hanya sekitar 30%. Namun jika motivasinya tinggi, tingkat keberhasilannya sekitar 70%,” tambah dr. Agus.
Program berhenti merokok di tingkat primer atau puskesmas dijalani selama 3 bulan dengan kontrol rutin setiap 2 minggu. “Kalau dalam 3 bulan tidak berhasil, biasanya dirujuk ke layanan sekunder atau rumah sakit untuk mendapatkan terapi berhenti merokok yang lebih lengkap,” tambah dr. Agus.
Jika muncul kendala yang cukup berat saat berhenti merokok, seperti gejala putus nikotin (withdrawal) yang cukup berat ditandai dengan stres, mudah marah, hingga depresi, orang tersebut harus dirujuk ke layanan sekunder untuk mengatasi withdrawal.
“Pada prinsipnya, orang yang mau berhenti merokok kendalanya ada 5 hal, yaitu motivasi, adiksi atau ketagihan, withdrawal atau putus nikotin, perilaku atau kebiasaan, dan faktor lingkungan. Jadi, layanan tingkat sekunder membantu mengendalikan kelima aspek tersebut,” ungkap Ketua Umum PDPI itu kepada GueSehat.
Kalau layanan berhenti merokok di rumah sakit, awalnya adalah konseling. Dilakukan assessment terlebih dulu. Ini dilihat dari adiksinya atau motivasinya. Setelah itu, menggunakan modalitas tambahan, seperti obat-obatan atau farmakoterapi.
Namun kalau cara konseling dan pemberian obat dirasa kurang, biasanya ada terapi pendukung, seperti hipnoterapi, psikoterapi atau terapi psikiatrik bersama dengan dokter khusus kejiwaan, terapi perilaku, terapi akupuntur, acupressure, serta rehabilitasi medik. Selain itu, bisa juga disertai dengan konsultasi gizi.
“Misalnya berat badan seseorang setelah withdrawal naik secara berlebihan, maka konsultasi gizi diperlukan untuk mengendalikan berat badan. Namun, tidak semua orang diberikan semua modalitas pendukung itu. Harus dilihat aspek atau masalahnya ada di mana,” tambah dr. Agus.
Sama seperti di tingkat primer, program berhenti merokok di rumah sakit juga dijalankan selama 3 bulan dan kontrol setiap 2 minggu. “Kalau di rumah sakit, modalitas untuk layanan berhenti merokok memang lebih lengkap karena tidak sekadar konseling, melainkan ada terapi obat dan terapi pendukung lainnya,” ujarnya.
Jika ingin berhenti merokok, yang harus dilakukan menurut dr. Agus ialah mengunjungi fasilitas layanan primer dulu. “Nanti, dari primer dirujuk ke layanan tingkat sekunder sesuai dengan masing-masing wilayah. Kalau ingin langsung ke layanan tingkat sekunder boleh saja, asalkan di daerahnya tersedia layanan berhenti merokok,” ungkap dr. Agus.
Meski begitu, ternyata belum banyak rumah sakit yang menyediakan layanan berhenti merokok. “Yang saya tahu, di Jakarta ada RSUP Persahabatan dan RSPAD Gatot Soebroto, di Jawa Tengah juga ada. Hampir wilayah Jawa semuanya ada,” jelasnya.
Selain melalui layanan tingkat primer dan sekunder, Kementerian Kesehatan juga sudah menyediakan layanan upaya berhenti merokok Quit Line melalui telepon 0800-177-6565. ”Pendekatan layanan ini sama seperti di tingkat primer, yaitu konseling melalui telepon dan aksesnya gratis ke seluruh masyarakat di Indonesia,” ujar dr. Agus kepada GueSehat.
Apakah Bisa Berhenti Merokok Tanpa Bantuan?
Jika ingin mencoba berhenti merokok sendiri, ada 3 cara yang bisa dilakukan. Namun, tentunya harus diikuti dengan motivasi yang kuat agar tidak relapse atau merokok kembali.
“Pertama, dengan berhenti langsung atau benar-benar putus langsung dari nikotin. Hal ini harus dibarengi dengan kebiasaan pengganti yang positif, misalnya menjauhi teman dan lingkungan yang merokok atau mencari kegiatan positif untuk mengalihkan keinginan merokok. Nah, kalau timbul gejala putus nikotin, bisa meminta bantuan dari dokter,” ujar dr. Feni saat ditemui GueSehat.
Cara kedua, bisa dilakukan secara bertahap. “Misalnya ingin berhenti merokok dalam seminggu, bisa kurangi jumlah rokoknya. Kalau biasanya 20 batang per hari, kurangi 3 batang, sehingga hanya 17 batang per hari. Hari kedua, kurangi lagi 3 batang. Begitu seterusnya hingga 0. Jadi kalau sudah bisa tanpa rokok, tinggal dipertahankan,” jelasnya.
Cara ketiga ialah menunda jam merokok. “Kalau terbiasa merokok pada pukul 07.00, nah ditunda dulu merokoknya beberapa jam menjadi pukul 09.00. Pada hari berikutnya ditunda lagi. Jadi, lama-kelamaan akan berhenti merokok,” ungkap Ketua Pokja Masalah Rokok PDPI itu kepada GueSehat.
Setelah berhenti merokok, tentu akan ada banyak manfaat kesehatan yang dirasa. “Dua puluh menit saja berhenti merokok, denyut jantung kembali normal dan aliran darah membaik. Dalam 12 jam, oksigen dalam darah mencapai normal dan karbon dioksida menurun. Kalau berhenti 10 tahun, risiko kanker paru berkurang. Dan jika berhenti dalam 15 tahun, risiko penyakit jantung juga berkurang,” tambahnya.
“Untuk mengurangi risiko terhadap penyakit akibat merokok memang butuh waktu yang lama. Bagi mereka yang telah berhasil berhenti merokok, fungsi paru akan lebih baik, tidak mudah sesak napas, dan kalau olahraga juga lebih kuat. Oleh karena itu, jangan menunda untuk berhenti merokok. Kesehatan itu aset dan harus dipelihara,” tutup dr. Feni. (AY)
-
# Rokok
-
# Pernapasan
-
# Anti Hoaks