iera sipahutar
26 Juli 2019
pexels.com

Hipertensi dalam Kehamilan, Akan Selalu Berujung Eklampsia?

Informasi kesehatan ditinjau dan diedit oleh
dr. Yurika Elizabeth Susanti

Tak terasa sakit, bukan berarti ia tak ada. Ungkapan ini terbilang cocok ditujukan untuk hipertensi, terutama hipertensi dalam kehamilan. Bagaimana tidak, naiknya tekanan darah ini, seringnya tak menunjukkan gejala apa-apa, sehingga dibiarkan terlalu lama dan baru disadari saat menunjukkan gejala serius. 

 

Lalu, seberapa berbahaya hipertensi dalam kehamilan ini, hingga harus ditindak cepat? Dan apa benar kalau terjadi hipertensi dalam kehamilan sama artinya dengan terkena pre-eklampsia? Mari kita tuntas secara jelas.

 

Definisi hipertensi dalam kehamilan

 

Hipertensi dalam kehamilan diartikan sebagai naiknya tekanan darah (hipertensi) yang terjadi dalam kondisi hamil. Hipertensi dalam kehamilan biasanya terjadi di minggu ke-20 atau lebih, dengan tekanan darah mencapai 140/90 mmHg, atau kenaikan tekanan sistolik (angka atas) mencapai 30 mmHg dan tekanan diastolik (angka bawah) 15 mmHg di atas nilai normal.

 

Lalu, apa yang terjadi jika angka sistol dan diastol terus-menerus menunjukkan angka di atas nilai normal? Singkatnya, Mums termasuk menderita hipertensi. Penjelasannya begini, jantung berdetak secara teratur untuk memompa darah ke semua pembuluh darah yang ada di seluruh tubuh. Ketika darah didorong oleh detak jantung, darah akan mendorong balik menuju pembuluh darah.

 

Pembuluh darah sendiri sifatnya fleksibel dan bisa melebar atau menyusut mengikuti arus aliran darah. Nah, ketika aliran darah mendorong pembuluh darah terlalu keras dan berlangsung dalam waktu lama, inilah yang kemudian dinamakan hipertensi dan ditunjukkan dengan angka sistol dan diastol di atas batas normal ketika diukur dengan sfigmomanometer. Akibat lanjutannya adalah arteri berubah menjadi kaku, tidak sefleksibel normalnya, dan mulailah beragam masalah kesehatan muncul.



Tekanan darah tinggi kemudian bisa menyebabkan banyak kerusakan di pembuluh darah, jantung, ginjal, dan organ lain di dalam tubuh. Apalagi jika sedang hamil, jantung harus bekerja lebih keras agar bisa mengalirkan darah ke tubuh Mums dan janin. Hipertensi dalam kehamilan bisa mendatangkan risiko yang berefek pada ibu dan janin. Preeklampsia dan eklampsia, adalah dua contohnya.

 

Baca juga: Penyebab dan Gejala Hipertensi yang Harus Diwaspadai
 

Semua kasus hipertensi dalam kehamilan berujung eklampsia?

 

Seperti yang tercantum dalam Berita Kedokteran Masyarakat yang diterbitkan pada September 2016, disebutkan bahwa hipertensi dalam kehamilan memengaruhi sekitar 10% dari semua perempuan hamil di seluruh dunia. Khusus di Indonesia, tingkat penderita hipertensi dalam kehamilan tergolong tinggi. Bahkan menurut data dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Pusdatin), hipertensi dalam kehamilan menjadi penyebab kematian ibu, selain perdarahan dan infeksi.

 

Walau begitu, hipertensi dalam kehamilan tidak selalu berakhir menjadi pre-eklampsia atau eklampsia. Perlu diketahui, ada 3 klasifikasi hipertensi dalam kehamilan, yaitu:

  1. Hipertensi kronis. Jika tekanan darah mencapai 140/90 atau lebih sebelum hamil, di awal kehamilan (sebelum usia kehamilan 20 minggu), dan tekanan darah tetap tinggi menjelang persalinan. Tipe ini bisa dikategorikan sebagai hipertensi murni akibat pola makan yang salah dan ada riwayat hipertensi.
  2. Hipertensi gestasional. Tekanan darah mencapai nilai 140/90 mulai dari usia kehamilan 20 minggu dan menghilang setelah melahirkan. Hipertensi jenis ini disebut sebagai hipertensi sesaat.
  3. Pre-eklampsia. Hipertensi disertai dengan proteinuria yang terjadi pada usia kehamilan di atas 20 minggu.

 

Pre-eklampsia sendiri terbagi menjadi dua, ada yang ringan dan ada yang berat. Penderita pre-eklampsia ringan masih bisa berobat jalan, sementara pre-eklampsia berat harus dirawat inap di rumah sakit. Walau begitu, terlepas dari ringan atau berat, pre-eklampsia tak bisa disepelekan karena menjadi salah satu penyebab utama kematian ibu. Juga, berkontribusi besar terhadap kematian janin dan bayi baru lahir (BBL) karena berisiko asfiksia (gagal napas) dan kelahiran dengan usia kehamilan

 

Pre-eklampsia yang juga disebut sebagai keracunan dalam kehamilan, memliki tiga tanda utama yang penting untuk diperhatikan, yaitu:

  • Hipertensi.
  • Keluarnya protein di urine (proteinuria). Menurut penjelasan dr. Ardiansjah Dara Sjahruddin, Sp.OG, komplikasi hipertensi dalam kehamilan yang sering terjadi adalah gagal ginjal. Itulah yang membuat fungsi ginjal untuk menyaring tak bagus dan akhirnya protein itu keluar di saringan ginjal dan ditemukan di urine. 
  • Adanya edema (pembengkakan) pada tungkai kaki.

 

Ketika pasien hamil ditemukan memiliki kecenderungan tekanan darahnya tinggi, dokter bisa saja meresepkan obat antihipertensi dan merujuk pasien untuk melakukan pemeriksaan laboratorium dan meneliti lebih jauh apakah ada tanda-tanda menuju ke pre-eklampsia.

 

 

Selain meresepkan obat antihipertensi jika hipertensi yang diderita masih tergolong ringan, ibu hamil juga disarankan untuk memperbaiki pola makan. Sementara jika kondisi pasien sudah masuk dalam kategori hipertensi berat, maka bersama dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis kandungan akan meresepkan obat antihipertensi khusus.

 

 

 

Amankah mengonsumsi obat hipertensi selama hamil? Dokter Dara memastikan bahwa minum obat antihipertensi secara oral bagi ibu sangat aman dan tidak membahayakan janin. Sama halnya seperti ibu hamil yang menderita asma dan perlu minum obat asma, mereka dan janinnya akan baik-baik saja mengonsumsi obat tersebut selama kehamilan.

 

 

Yang perlu diingat adalah, jika memang didiagnosis menderita hipertensi dalam kehamilan, pasien harus mengonsumsi obat yang memang diresepkan dokter. Bukan menjadi dokter untuk dirinya sendiri dengan membeli obat bebas (over the counter) tanpa tahu obat itu apa benar aman atau tidak untuknya dan janin.

 

Fakta hipertensi dalam kehamilan

 

Menurut laporan dari WHO tahun 2014, kematian ibu umumnya terjadi akibat komplikasi saat hamil dan pascapersalinan. Jenis komplikasi yang mayoritas (sekitar 75%) menyebabkan kasus kematian dari total kasus kematian ibu adalah perdarahan, infeksi, hipertensi dalam kehamilan, komplikasi persalinan, dan aborsi yang tidak aman. Kasus di Indonesia sendiri, berdasarkan data dari Pusat Kesehatan dan Informasi Kemenkes tahun 2014, penyebab utama kematian ibu dari tahun 2010-2013 adalah perdarahan (30.3% pada tahun 2013) dan hipertensi dalam kehamilan (27.1% pada tahun 2013). Penemuan fakta ini sangat ironis, karena berbagai penyebab kematian ibu di atas sebenarnya dapat dicegah, jika mendapatkan perawatan medis yang tepat.

 

Fakta tambahan yang berasal dari Survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 dan 2013, melaporkan faktor risiko perilaku yang paling besar adalah kurang konsumsi buah dan sayur (93,6% dan 93,5%), aktivitas fisik rendah (48,2% dan 26,1%), kebiasaan konsumsi makanan asin (24,5% dan 26,2%) dan proporsi kehamilan usia 10-54 tahun adalah sebesar 2,68%. (AS)

 

 

Sumber: 




 

  • # Kehamilan
  • # Hipertensi
  • # Kesehatan Wanita
  • # TB Nutrisi & Kebugaran
  • # TB Persalinan & Postpartum
  • # TBMinggu20
  • # TB Kesehatan