GueSehat
04 Maret 2019
Pasundan Ekspres

Sindrom Hipoventilasi Obesitas, Penyebab Meninggalnya Wanita Obesitas Asal Karawang

Wanita penderita obesitas asal Karawang, Jawa Barat, Sunarti, meninggal dunia pada Sabtu, 2 Maret 2019. Dilansir dari berbagai sumber, Sunarti meninggal dunia di rumahnya, setelah sempat menjalani operasi pengecilan lambung (bariatrik) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

 

Wanita dengan berat badan 148 kilogram tersebut memulai pengobatan di RSHS kurang lebih sekitar satu bulan lalu. Menurut keterangan dokter, saat itu keluhan utama Sunarti adalah sesak napas. Selama menjalani perawatan, wanita berusia 40 tahun tersebut harus menjalani diet tinggi serat. Setelah itu, barulah ia menjalani operasi bariatrik pada 18 Februari 2019 lalu.

 

Menurut dokter, operasinya berjalan lancar. Namun, Sunarti kerap kali mejalani perawatan intensif karena sesak napas. Sebelum meninggal dunia, tepatnya pada Jumat 1 Maret 2019, Sunarti kembali ke rumahnya setelah menjalani perawatan intensif. Namun, ketika sudah sampai di rumah, ia mengeluhkan sesak napas. Sunarti meninggal dunia saat tertidur pada waktu menjelang subuh.

 

Sesak napas memang merupakan salah satu kondisi yang paling sering dialami penderita obesitas. Pada umumnya, sesak napas tersebut disebabkan oleh penyakit jantung. Namun, pada penderita obesitas, ada pula kondisi yang disebut sindrom hipoventilasi obesitas.

 

Sindrom hipoventilasi obesitas merupakan kondisi kesehatan dimana penderita obesitas mengalami kesulitan bernapas. Lalu, apa penyebab sindrom hipoventilasi obesitas? Dengan memahami lebih dalam tentang kondisi ini, Geng Sehat yang mengalami obesitas bisa mengetahui pengobatan yang tepat. Geng Sehat juga perlu tahu hubungan antara sindrom hipoventilasi obesitas dengan sleep apnea, yang juga memiliki gejala serupa. Berikut penjelasan lengkapnya!

 

Baca juga: Cara Aman Menurunkan Berat Badan pada Ibu Hamil yang Obesitas

 

Penyebab Sindrom Hipoventilasi Obesitas

Sindrom hipoventilasi obesitas merupakan kondisi dimana saluran pernapasan terganggu dan tidak bisa mengeluarkan karbon dioksida secara sepenuhnya dari dalam tubuh. Ada banyak hal yang bisa menyebabkan kondisi ini. Namun, semuanya memiliki dampak yang sama, yaitu masalah pernapasan yang bisa menyebabkan gagal napas secara sepenuhnya.

 

Sindrom hipoventilasi obesitas bisa dideteksi dengan cara mengukur kadar karbon dioksida di dalam darah. Biasanya, jika seseorang mengalami sindrom hipoventilasi obesitas, maka hasil tersebut akan menunjukkan kadar karbon dioksida yang terlalu tinggi, meskipun orang tersebut sedang berada dalam kondisi sadar.

 

Karbon dioksida adalah produk limbah yang harus dikeluarkan dari paru-paru setelah masuknya oksigen. Namun, jika pernapasan terganggu, apapun penyebabnya, proses biologis tersebut tidak bisa terjadi dengan lancar. Karbon dioksida yang menumpuk sangat tinggi dalam tubuh, akan beredar di sirkulasi darah dan menjadi racun. Dampaknya mulai dari yang ringan seperti rasa kantung hingga yang fatal berupa kehilangan kesadaran bahkan kematian.

 

Kata hipoventilasi sendiri merujuk kepada pernapasan yang terganggu atau tidak lancar. Kondisi ini terjadi jika volume pernapasan yang kurang, atau jika frekuensi pernapasannya yang berkurang. Coba Kamu bayangkan jika paru-paru hanya bisa terisi setenganya. Napas pendek ini menyebabkan tubuh semakin sulit untuk mengeluarkan karbon dioksida dan menyerap oksigen yang diperlukan tubuh untuk bisa berfungsi. Hipoventilasi bisa disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. 

 

 

Hubungan Sindrom Hipoventilasi Obesitas dengan Sleep Apnea Obstruktif

Menurut penelitian, 85% - 92% penderita sindrom hipoventilasi obesitas juga mengalami sleep apnea. Menurut ahli, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh mekanisme yang serupa antara kedua masalah pernapasan ini. Sindrom hipoventilasi obesitas seringkali disebut sebagai bentuk sleep apnea yang lebih ekstrem. Kalau sleep apnea hanya terjadi ketika seseorang sedang tidur, sindrom hipoventilasi obesitas bisa menyebabkan sesak napas ketika penderitanya berada dalam kondisi sadar.

 

Sleep apnea sendiri merupakan kondisi dimana saluran pernapasan bagian atas mengalami penyumbatan, baik secara menyeluruh atau hanya sebagian. Hal ini bisa menyebabkan tubuh tidak bisa memperoleh oksigen yang cukup, sementara kadar karbon dioksida meningkat. Kalau sleep apnea jarang terjadi, maka tidak akan menimbulkan dampak yang berbahaya bagi tubuh. Namun, kalau Kamu terlalu sering mengalami sleep apnea, segera konsultasikan ke dokter. 

 

Baca juga: Menu Makanan untuk Penderita Obesitas

 

Pernapasan Lebih Sulit pada Penderita Obesitas

Pada umumnya, upaya untuk bernapas dengan lancar lebih sulit pada penderita obesitas. Pasalnya, paru-paru sulit untuk mengembang karena tekanan dari berat badan lebih. Kelebihan berat badan tersebut menyebabkan paru-paru kesulitan untuk mengisi diri dengan oksigen.

 

Biasanya, paru-paru bisa terisi penuh dengan bantuan diafragma dan otot pernapasan di tulang rusuk. Ketika otot-otot tersebut tertarik, paru-paru mengisi diri dengan oksigen. Orang yang obesitas memiliki kekuatan otot yang lemah. Jadi, gangguannya tidak hanya akibat tekanan dari berat badan berlebih, namun juga kelemahan pada otot.

 

Faktor-faktor tersebut meningkatkan kesulitan penderita obesitas untuk bernapas dengan baik. Lama kelamaan, bernapas saja akan membuatnya merasa lelah. Semakin hari, napasnya juga semakin pendek atau jarang. Hal inilah yang menyebabkan sindrom hipoventilasi obesitas.

 

Adaptasi Tubuh Memperburuk Hipoventilasi

Akibat kesulitan bernapas, tubuh berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Namun, hal tersebut malah membuat hipoventilasi menjadi semakin parah. Salah satu contohnya, otak mulai mengabaikan sinyal kadar oksigen rendah dan kadar karbon dioksida tinggi di dalam darah. Dalam kondisi normal, sinyal tersebut memicu otak untuk mendorong tubuh agar bernapas lebih banyak dan cepat. Namun, jika sindrom hipoventilasi obesitas semakin memburuk dan menjadi kronis, sinyal tersebut terabaikan.

 

Setelah itu, karena paru-paru tidak bisa mengembang secara sempurna, lobus bagian bawahnya jadi sulit bergerak. Hal ini menyebabkan darah yang bersikulasi di bagian tersebut sulit untuk mendapatkan oksigen. Lama kelamaan, masalah pertukaran antara oksigen dan karbon dioksida menjadi semakin parah. 

 

Seperti yang dijelaskan di atas, sindrom hipoventilasi obesitas bisa disebabkan oleh banyak faktor. Secara keseluruhan, kondisi tersebut terjadi ketika proses pertukuran oksigen dan karbon dioksida terganggu. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh kesulitan gerak paru-paru akibat tekanan dari kelebihan berat badan.

 

Sindrom hipoventilasi obesitas sangat berbahaya dan bisa menyebabkan kematian. Oleh sebab itu, kalau Geng Sehat yang obesitas kerap mengalami sesak napas, sebaiknya segera periksakan ke dokter. Biasanya, dokter akan memberikan beberapa pilihan pengobatan untuk meredakan gejalanya, salah satu contohnya adalah terapi tekanan saluran pernapasan positif. (UH/AY)

 

Sumber:

Bickelmann, AG et al. Extreme obesity associated with alveolar hypoventilation; a Pickwickian syndrome. 1956.

Martin, TJ et al. Alveolar hypoventilation: A review for clinicians. 1995.

Mokhlesi, B et al. Obesity hypoventilation syndrome: prevalence and predictors in patients with obstructive sleep apnea. 2007.

Mokhlesi, B et al. Assessment and management of patients with obesity hypoventilation syndrome. 2008.

Piper, AJ et al. Current perspectives on the obesity hypoventilation syndrome. 2007.

Very Well Health. Causes of Obesity Hypoventilation Syndrom. Maret. 2018.

 

  • # Obesitas
  • # Sesak napas