PENYAKIT

Pikun (Demensia)

Deskripsi

Demensia merupakan sindrom atau kumpulan gejala peyakit yang memengaruhi otak (neurodegenerative). Demensia bukan satu penyakit yang spesifik. Penurunan fungsi otak, seperti berkurangnya daya ingat, menurunnya kemampuan berpikir, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan, terjadi secara kronis dan progresif. Kesadaran pada pasien demensia tidak terganggu. Demensia juga sering kali disertai dengan adanya penurunan kontrol emosi dan perilaku sosial.

 

 

Baca juga: Apa Bedanya Demensia dan Alzheimer?
Pencegahan

Demensia dipengaruhi oleh faktor risiko usia dan genetik, sehingga sulit untuk dicegah. Penelitian terus berkembang untuk mencari faktor risiko lain pada kesehatan otak dan pencegahan demensia. Beberapa hal yang dikaitkan dengan pengurangan risiko demensia antara lain faktor kardiovaskular, latihan fisik, dan diet.

 

Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menekan risiko demensia adalah berhenti merokok, berolahraga secara teratur, menjaga asupan nutrisi, dan menerapkan pola hidup sehat, seperti banyak mengonsumsi makanan tinggi serat dan rendah lemak, hindari asupan alkohol, atur berat badan dalam kondisi ideal, dan meningkatkan asupan vitamin.

 

Karena target demensia adalah fungsi otak, maka usahakan untuk selalu melatih otak secara berkala, seperti membaca dan bermain teka-teki. Hindari pula terjadinya cedera di bagian kepala. Selain itu, menjaga kesehatan, seperti mengontrol tekanan darah, kadar gula darah, dan kolesterol, juga bisa dilakukan sebagai upaya pencegahan faktor risiko demensia.

Gejala

Gejala umum demensia bisa meliputi hilang ingatan, termasuk sering lupa yang semakin lama semakin berat, kesulitan berkomunikasi, kesulitan berbicara, berbahasa, dan bertutur kata. Saat dihadapkan pada suatu masalah, sering kali penderita merasa kesulitan dalam memecahkannya. Penderita demensia juga memiliki gejala penurunan konsentrasi, bingung, serta sulit menilai situasi dan mengambil keputusan.

 

Gejala psikologis juga bisa terjadi, seperti depresi, gelisah, perubahan perilaku dan emosi, paranoid, agitasi, dan halusinasi. Dalam kondisi yang semakin kronis dan progresif, bukan tidak mungkin gejala demensia terus meluas, seperti tidak mampu menahan buang air kecil, penurunan nafsu makan, kesulitan menelan, hingga kelumpuhan di salah satu sisi tubuh.

 

Baca juga: 3 Cara Menghindari Demensia Alzheimer
Penyebab

Demensia progresif disebabkan karena berbagai macam penyakit, yang khususnya menyerang sistem saraf. Salah satu penyebab yang paling umum adalah penyakit Alzheimer. Penyebab penyakit ini masih belum diketahui secara jelas. Beberapa bahasan literatur merujuk pada kelainan genetik, yang bisa meningkatkan risiko penyakit Alzheimer. Penyakit Alzheimer ditandai dengan adanya abnormalitas berupa penggumpalan plak protein beta-amyloid serta jaringan amilosa yang terbentuk akibat protein tau.

 

Penyebab kedua terbanyak demensia adalah karena adanya gangguan pembuluh darah otak. Sering kali disebut sebagai demensia vaskuler. Lewy body dementia merupakan demensia yang terjadi karena adanya penggumpalan protein abnormal pada otak, yang juga bisa ditemukan pada Alzheimer dan Parkinson.

 

Degenerasi sel otak pada bagian frontal dan temporal dengan berbagai gejala (demensia frontotemporal) juga menjadi penyebab gejala demensia. Pada pasien yang berusia lanjut, umumnya di atas 80 tahun, penyebab demensia bisa multifaktor, baik itu dari Alzheimer, demensia vaskuler, dan lewy body dementia.

Diagnosis

Pedoman Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders- IV (DSM-IV) sering digunakan sebagai gold standar untuk diagnosis klinis demensia. Kriteria ini termasuk adanya gangguan memori dan tidak adanya salah satu dari gangguan kognitif, seperti afasia, apraksia, agnosia, dan gangguan fungsi eksekutif.

 

DSM-V (2013) juga digunakan untuk menegakkan diagnosis demensia. Domain kognitif yang diperiksa meliputi atensi kompleks serta fungsi eksekutif, seperti merencanakan sesuatu, mengambil keputusan, memori kerja, fleksibilitas mental, dan sebagainya. Juga akan diperiksa fungsi pembelajaran dan memori segera, memori jangka panjang, dan pembelajaran implisit. Kemampuan berbahasa secara ekspresif dan reseptif, serta pemeriksaan domain kognitif lainnya.

 

Secara keseluruhan, demensia tidak mudah didiagnosis karena banyaknya gejala yang bisa saja mengindikasikan penyakit sejenis. Biasanya akan dilakukan tes kognitif dan neuropsikologis,pemeriksaan neurologi, pemindaian pemeriksaan darah, pemeriksaan cairan tulang belakang, serta tes psikiatrik.

 

Pada pasien demensia progresif yang sudah terdiagnosis, keparahan pasien tersebut bisa digolongkan menjadi 5 tahap. Tahap pertama, kemampuan fungsi otak penderita masih dalam tahap normal. Tahap kedua, penderita mulai mengalami penurunan kemampuan fungsi otak, tetapi masih mampu hidup mandiri.

 

Tahap ketiga, penderita mulai kesulitan beraktivitas dan melakukan pekerjaan sehari-hari, tetapi masih dalam intensitas ringan. Tahap keempat, pasien demensia sering kali memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-harinya. Tahap kelima, terjadi penurunan fungsi otak pasien secara drastis dan tidak bisa hidup mandiri.

 

Baca juga: Demensia Alzheimer Kerap Disebut Diabetes Tipe 3
Penanganan

Terapi farmakologi harus sejalan dengan intervensi psikososial untuk memperbaiki kognisi, fungsi, dan perilaku. Hanya spesialis yang menangani demensia (neurology, psikiater, geriatrik) yang boleh memulai terapi. Dan keluarga harus dilibatkan dalam penanganan pasien sejak awal.

 

Pilihan farmakoterapi utama pada kasus demensia adalah penguat kognitif. Kolinesterase inhibitor (AChEI) bekerja dengan meningkatkan kadar asetilkolin di otak, untuk mengkompensasi hilangnya fungsi kolinergik. Mekanisme lain adalah dengan stimulasi terus-menerus pada reseptor NMDA.

 

Kolinesterase inhibitor direkomendasikan untuk demensia ringan hingga sedang. Hanya Donepezil yang disetujui untuk demensia berat. Memantin, yang merupakan antagonis reseptor NMDA, disetujui untuk demensia sedang hingga berat.

 

Golongan antipsikotik juga terkadang diberikan untuk menjaga dan menenangkan perilaku yang agresif atau agitasi yang parah. Begitu juga dengan antidepresan, bisa digunakan untuk menurunkan gejala depresi yang sering terjadi pada pasien demensia.

 

Selain farmakoterapi, terapi psikologis juga bisa dilakukan untuk meredakan gejala demensia, seperti terapi stimulasi kognitif dan orientasi realitas, terapi perilaku, terapi okupasi, serta terapi validasi. Pada kondisi demensia yang disebabkan oleh tumor otak, cedera, atau hidrosefalus, tindakan operasi dapat disarankan.