Tim PDHMI
20 Desember 2019
pixabay

Obat Herbal Juga Perlu Distandarisasi

 

Dalam rangka meningkatkan mutu, keamanan dan manfaat obat tradisional, salah satu langkah yang dilakukan adalah standardisasi bahan baku yang digunakan dalam produksi obat tradisional, termasuk standardisasi ekstrak. Pemerintah melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan serta melindungi konsumen untuk tegaknya trilogi“mutu-keamanan-manfaat”.

 

Dijelaskan dr. Fira Amaris, M.Si (Herbs.) dari Perhimpunan Dokter Medik Indonesia (PDHMI), seperti halnya obat sintentis, pemberian obat herbal juga harus memenuhi asas rasionalitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Efek samping, kontraindikasi, dan interaksi obat harus diperhatikan.

 

Standardisasi suatu sediaan obat tradisional adalah suatu persyaratan yang harus dipenuhi agar terwujudnya keberulangan (reproducibility) terhadap kualitas formula maupun terapetik. Dalam upaya standardisasi tersebut perlu ditentukan persyaratan standard yang ditetapkan di dalam Peraturan dan Perundang-undangan yang berlaku.

 

Standardisasi suatu sediaan obat tradisional tidak sulit jika senyawa aktif diketahui sehingga dapat digunakan untuk membantu menentukan kualitas bahan obat. Pada prinsipnya standardisasi obat tradisional dilakukan mulai dari bahan baku sampai dengan sediaan jadi.

 

Baca juga: Jangan Remehkan Nyeri Kepala

 

 

Berdasarkan hal inilah dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu :

  1. Standardisasi bahan : sediaan (bisa berupa simplisia atau ekstrak terstandar/ bahan aktif yang diketahui kadarnya)

  • Standardisasi produk : kandungan bahan aktif stabil atau tetap.

  • Standardisasi proses : metode, proses dan peralatan dalam pembuatan sesuai dengan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).

  •  

    Simplisia merupakan produk hasil pertanian tumbuhan obat setelah melalui proses pasca panen dan proses preparasi secara sederhana menjadi bentuk produk yang siap dipakai atau siap diproses selanjutnya.

     

     

     

    Proses panen dan preparasi simplisia merupakan proses yang menentukan mutu simplisia meliputi komposisi senyawa kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan. Standardisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung dikonsumsi (seperti serbuk jamu) harus memenuhi persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku.

     

    Simplisia harus memenuhi parameter-parameter standar umum di antaranya kebenaran jenis, bebas dari kontaminasi kimia dan biologi dan stabilitas (dari segi wadah , penyimpanan dan transportasi). Selain itu Quality-Safety-Efficacy (Mutu-Keamanan-Efektivitas) juga penting jika simplisia sebagai produk konsumsi manusia.

     

    Dalam bentuk ekstrak, selain persyaratan monografi bahan baku (simplisia), diperlukan persyaratan mutu ekstrak terdiri dari beberapa parameter yang harus diukur atau dianalisis agar bahan obat atau sediaan obat dapat dijamin keamanannya bagi konsumen atau masyarakat pengguna dan sesuai dengan Farmakope Indonesia maupun Materia Medika Indonesia.

     

    Parameter tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu :

    1. Parameter non spesifik : berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi, dan fisik yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas

  • Parameter spesifik berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang bertanggungjawab terhadap aktivitas farmakologis.

  •  

    Jenis sediaan obat herbal sangat beragam, dimulai dari sediaan sangat sederhana seperti jus, seduhan sampai dengan penggunaan teknik modern. Tujuan dari proses pembuatan obat herbal adalah meningkatkan kandungan senyawa aktif, dan mempermudah dalam hal distribusi dan memberi kenyamanan pada pengguna, menghilangkan senyawa atau golongan senyawa yang tidak diinginkan.

     

    Proses standardisasi obat tradisional diperlukan untuk menghasilkan produk yang berkualitas baik sebelum diproduksi dalam skala industri. Beberapa negara di Eropa, Jepang dan Australia mensyaratkan produk-produk obat herbal harus memenuhi persyaratan GMP (Good Manufacturing Practice). Indonesia pun juga sudah melakukan hal yang sama dengan menetapkan standarisasi seperti CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik).

     

     

    Referensi:

    1. Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia, Jilid VI, cetakan pertama. Jakarta, Departemen Kesehatan : Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

  • Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, cetakan pertama. Jakarta, Departemen Kesehatan: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 13-33.

    1.  Hidayah, R.N. (2010). Standarisasi Ekstrak Metanol Kulit Kayu Nangka. Skripsi. Surakarta : Fakultas Farmasi Universitas Muhamadiyah Surakarta. 4. 

  • I Made, O.A.P. (2017). Obat Tradisional. Bahan Ajar. Bali : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

  • Mun’im, A. dan Hanani, E. (2011). Fitoterapi Dasar, cetakan pertama. Jakarta : Penerbit Dian Rakyat.

  •  

     

     

     

     

     

     

    • # Penyakit
    • # Obat herbal