Marcella Lidwina
22 Januari 2017
pixabay.com

Ibu, Tidak Apa-Apa Sedikit Menurunkan Standar Idealisme Anda!

Setelah satu tahun lebih menjadi ibu, banyak sekali idealisme-idealisme seorang Ibu yang pada akhirnya harus saya turunkan standarnya. Mungkin di awal-awal kehidupan saya sebagai ibu, banyak sekali prinsip-prinsip dan idealisme-idealisme yang inginnya saya terapkan dalam kehidupan saya dan keluarga. Terlebih lagi, ketika sebelum menikah dan memiliki anak. Standar idealisme saya jauh lebih tinggi.

Memakai Jasa Asisten Rumah Tangga

Dulu, saya ingin sekali menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak, suami, dan rumah sendiri, tanpa bantuan asisten rumah tangga (ART) ataupun babysitter. Nyatanya, hal itu bisa berlangsung hanya hingga usia kehamilan saya menginjak 6 bulan. Awal-awal kehidupan pernikahan tentunya mudah dan indah. Rumah kami juga dulu kecil sekali, sehingga mengurus segala sesuatunya mudah. Ketika usia kehamilan menginjak 6 bulan, saya mulai susah melakukan banyak kegiatan. Mudah lelah, emosi pun naik turun, kami pun pindah ke rumah yang lebih besar sehingga tidak mungkin bisa mengerjakan semua urusan rumah sendiri. Jadi, memiliki ART pun jadi jalan keluar. Soal mengurus anak, tentunya masih sesuai dengan idealisme saya dulu. ART tidak ikut campur sama sekali. Namun lagi-lagi akhirnya idealisme tersebut harus luntur. Ketika anak saya menginjak usia 1 tahun, makan mulai susah karena sudah mulai banyak bergerak dan banyak keinginan. Akhirnya ART pun saya mintakan bantuan untuk menyuapi sekali-kali. Kalau dulu anak saya banyak tidur sehingga bisa ditinggal untuk mandi dan melakukan hal-hal lain, sekarang ia sudah inginnya main dan ditemani terus. Jadilah, setiap saya harus mandi atau pun makan, ART jugalah yang menemaninya main.

Idealisme Lain Yang Saya Turunkan Standarnya

Itu baru satu idealisme yg saya turunkan standarnya. Masih ada lagi beberapa contohnya. Dulu saya ingin anak saya bisa duduk diam untuk makan bersama-sama kami di meja makan dengan menggunakan kursi makannya atau high chair. Hal itu bisa berlangsung dan bertahan sampai usianya 11 bulan. Setelah itu? Karena baru bisa jalan pada usia itu, anak saya sudah mulai tidak betahan duduk di kursi itu. Kalau makan harus sambil jalan keliling rumah dan main. Apa saja digeratak. Aduh! Awal-awal rasanya patah hati dan agak stress membayangkan bagaimana nanti kalau kita ajak ke restoran dan tidak mau duduk di high chair? Pasti akan repot sekali. Tapi mau tidak mau harus saya biarkan makan sambil main, meskipun tidak sampai kejar-kejaran ya. Karena kalau tidak, ia tidak mau makan. Hal ini masih saya pegang teguh. Saya paling tidak mau menyuapi anak sampai harus mengejar-ngejar dia. Kalau dia sudah sama sekali tidak tertarik makan dan lebih memilih main, saya stop makannya. Nanti kalau ada kesempatan lagi baru saya suapi lagi. Kadang sesekali saya haruskan ia makan di high chair ketika sarapan. Setidaknya dia tidak lupa sama sekali rasanya duduk di high chair. Ternyata meskipun di rumah dia selalu mengeksplorasi rumah, di restoran dia bisa duduk tenang. Syukurlah! :)

Urusan Makanan Pun Saya Turunkan Standarnya!

Soal makanan anak saya juga terpaksa harus saya turunkan standarnya. Awal-awal, inginnya memberikan menu 4 bintang setiap hari untuk anak saya, tanpa gula garam sampai usia 1 tahun, kalau bisa lebih. Nyatanya? Ketika anak lagi nggak mau makan, boro-boro memberikan menu 4 bintang. Biskuit saja saya berikan asalkan dia masuk makanan. Namun tetap saya usahakan memberikan makanan bergizi di waktu makan atau hari lain ketika nafsu makannya sedang baik. Salah satu makan siang Elika waktu lagi susah makan dulu:  nasi disumpel ke dalam kue sus kering. Akhirnya dia mau makan banyak Yah, sepertinya saat ini sudah tidak ada lagi idealisme menjadi supermom yg dulu ingin saya terapkan ke anak saya. Tentunya meskipun begitu, saya juga tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk anak saya, namun tidak ngoyo. Saya berusaha belajar jujur dan berdamai dengan diri dan pikiran saya sendiri. Saya pikir, jika saya memaksakan idealisme dan kehendak saya terhadap anak saya, tentunya akan memiliki pengaruh buruk terhadap dirinya dan juga saya. Contohnya adalah soal memberi makan. Jika saya memaksa dia untuk makan sekian porsi dan makan  suatu jenis makanan tertentu yang ternyata ia tidak suka, apakah tidak mungkin sang anak akan menjadi trauma dengan makanan tersebut atau bahkan trauma dengan makan sehingga sampai besar dia akan susah makan? Saya tidak tau pasti pengaruhnya terhadap anak saya, namun yg jelas pengaruh terhadap diri saya adalah saya akan menjadi sangat stress ketika anak tidak mau makan makanan yg saya siapkan. Dan ketika seorang ibu stress, mungkin nanti anak atau suami yg akan terkena efeknya. Yuk, Ibu-Ibu! Kita sama-sama belajar menjadi ibu yg lebih baik, namun tidak usah terlalu memaksakan diri. Tidak apa-apa menurunkan sedikit standar idealisme kita jika memang sudah tidak sesuai dengan kondisi yang kita alami di saat ini. Namun tentunya kita akan terus berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga.

  • # Terbaru
  • # Informasi
  • # Ibu