Ana Yuliastanti
02 Mei 2024
Google

Viral Bocah 4 Tahun Tunangan, Ini 10 Dampak Pernikahan Anak!

Belum lama ini beredar video acara tunangan dua bocah berusia 4 tahun—belakangan dikoreksi menjadi 7 tahun--di Madura. Sontak, video ini menjadi viral. Di luar keviralan momen yang langka ini, ada keprihatinan tersendiri tentang pernikahan anak. Apakah praktek pernikahan anak memang sudah biasa di beberapa daerah di Indonesia?


Dampak pernikahan anak tidak seserhana gagal kemudian bercerai. Ada konsekuensi jangkap panjang, apalagi jika sudah menghasilkan anak. Setidaknya ada 10 dampak pernikahan anak yang nyata, dan kita bahas satu per satu di artikel ini!

Baca juga: Kenali 13 Gejala Depresi pada Remaja


Tunangan karena Nazar Orangtua, Bagaimana Nasib Bocah ini?

Dikutip dari Detik, acara tunangan bocah 7 tahun tersebut memang benar digelar di Desa Dharma Camplong, Kecamatan, Samplong, Sampang, Madura, bertempat di rumah bocah perempuan yang bertunangan.



Pihak dinas kesehatan setempat, setelah mendatangi rumah pemilik hajat, mengakui bahwa acara itu adalah acara tunangan, bukan pernikahan. Pertunangan bocah itu dilakukan karena kedua orang tua si bocah perempuan dan laki-laki, memiliki nazar. Orangtua anak perempuan yang bertunangan mengatakan bahwa pertunangan putrinya itu digelar karena ada nazar dari kedua keluarga saat berada di Tanah Suci, Makkah.



Acara tunangan itu bukan berarti untuk mempercepat pernikahan anaknya. Kedua keluarga sepakat menikahkan keduanya saat sudah siap. Jadi di usia berapa sebenarnya pernikahan ideal dilakukan?

Baca juga: Cara Bijak Memberikan Hukuman untuk Anak dan Remaja, Jangan Otoriter!


Pernikahan Anak adalah Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Fenomena pernikahan anak di berbagai negara juga menjadi sorotan Unicef. Pernikahan anak mengacu pada pernikahan formal atau persatuan informal antara seorang anak di bawah usia 18 tahun dan orang dewasa atau dengan anak lainnya.


Meskipun praktik berbahaya ini terus menurun selama dekade terakhir, pernikahan anak masih tersebar luas, dengan sekitar satu dari lima anak perempuan menikah pada masa kanak-kanak di seluruh dunia.


Penikahan anak termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Salah satu tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB adalah menyerukan tindakan global untuk mengakhiri pernikahan anak pada tahun 2030.


Pernikahan anak sering kali terjadi akibat dari ketidaksetaraan gender yang sudah mengakar, sehingga menyebabkan anak perempuan terkena dampak paling berat akibat praktik tersebut. Secara global, prevalensi pernikahan anak pada anak laki-laki hanya seperenam dibandingkan anak perempuan.


Pernikahan anak merampas masa kecil anak perempuan dan mengancam kesejahteraan mereka. Anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun lebih besar kemungkinannya mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan kecil kemungkinannya untuk tetap bersekolah.


Mereka berisiko mempunyai kondisi ekonomi dan kesehatan yang lebih buruk dibandingkan rekan-rekan mereka yang belum menikah, dan hal ini pada akhirnya diwariskan kepada anak-anak mereka sendiri, sehingga menghambat kapasitas suatu negara untuk menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas.


Salah satu penyebab penikahan anak paling umum adalah hamil pada usia remaja, ketika risiko komplikasi selama kehamilan dan persalinan meningkat. Praktik ini juga dapat mengisolasi anak perempuan dari keluarga dan teman-temannya, sehingga berdampak buruk pada kesehatan mental mereka.


Baca juga: Anak Mulai Pacaran, Ini yang Mesti Orang Tua Lakukan


10 Dampak Penikahan Anak

Ada banyak alasan mengapa orang tua yang akan menikahkan anaknya harus menunggu sampai usia anak mereka matang, meskipun beberapa anak mungkin merasa siap untuk menikah pada usia dini.


Inilah 10 dampak penikahan yang yang bisa menjadi pertimbangan:


1. Kurangnya pengalaman hidup

Anak-anak di bawah usia 18 tahun masih kurang pengalaman hidup. Remaja dan anak memerlukan lebih banyak waktu untuk sepenuhnya memahami siapa diri mereka, tujuan mereka, dan apa yang mereka inginkan. Itulah sebabnya, menikah di usia anak-anak lebih pada suatu tindakan tergesa-gesa, dan mungkin pasangannya bukan orang yang cocok dalam jangka panjang.


2. Ketidakstabilan keuangan

Ketidakstabilan keuangan adalah faktor lain yang harus dipertimbangkan. Biasanya anak-anak dan remaja masih disokong orang tua untuk ekonomi rumah tangga karena belum memiliki pekerjaan layak.


Bahkan pasangan muda yang masih kuliah atau baru memulai karier masih merasa sulit untuk saling mendukung secara finansial setelah mereka menikah. Apalagi anak-anak.


3. Lingkaran sosial yang terbatas

Pasangan muda mungkin memiliki jaringan sosial yang kecil, sehingga dapat mengakibatkan kurangnya sumber daya dan bantuan ketika mereka sangat membutuhkannya. Pasangan muda yang baru saja pindah ke lokasi baru mungkin merasa kesulitan untuk berkenalan dan membangun sistem pendukung. Padahal saat mengalami kesulitan dalam hal apapun, mereka mungkin memerlukan dukungan dan nasihat dari seseorang.


4. Kepribadian belum matang

Anak-anak belum memiliki jati diri. Seorang remaja putri yang masih memantapkan cita-cita dan minat pribadinya mungkin merasa sulit untuk berkomitmen sepenuhnya pada pernikahan. Dia mungkin merasa masih belum sempat mempertimbangkan pilihannya dan menyesali pernikahannya yang begitu cepat.


5. Perbedaan prioritas

Perubahan prioritas dapat berubah seiring berjalannya waktu. Jika kedua pasangan punya perbedaan prioritas, hal ini dapat menyebabkan ketegangan dan perselisihan dalam perkawinan. Misalnya, satu pihak menginginkan serius berumah tangga dan membentuk keluarga sementara pasangannya masih ingin bebas dan melihat dunia. Stres dan konflik yang diakibatkan oleh perbedaan tujuan ini dapat mempengaruhi kehidupan rumah tangga.


6. Risiko perceraian lebih tinggi

Menurut penelitian, pasangan yang menikah di usia lebih muda lebih cenderung bercerai dibandingkan mereka yang menunggu sampai mereka lebih dewasa. Perceraian terjadi karena ketidakdewasaan, kurangnya pengalaman hidup, dan ketidakpastian finansial.


7. Tekanan dari keluarga dan masyarakat

Pasangan muda mungkin mengalami tekanan untuk menikah dari kerabat dan kelompoknya. Karena ketegangan ini, mereka mungkin membuat pilihan tergesa-gesa dan menikahi seseorang yang belum tentu paling cocok untuk mereka.


8. Karir terhenti

Pernikahan anak dapat menimbulkan dampak ekonomi yang negatif. Seorang pria muda yang bersemangat dengan pekerjaannya mungkin perlu melepaskan beberapa impian karirnya ketika dia menikah. Dia mau tidak mau harus memprioritaskan keluarganya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan dia mengalami kebencian dan penyesalan.


9. Kurangnya kematangan emosi

Diperlukan waktu untuk mencapai kematangan emosi, yang merupakan hal penting dalam hubungan apa pun. Ketika anak dipaksa menikah, ia tidak memiliki kekuatan mental untuk menangani kesulitan-kesulitan dalam pernikahan. Kalau terjadi konflik, tidak bisa menyelesaikan.


10. Kesulitan untuk tumbuh bersama

Tumbuh bersama dapat menjadi tantangan karena pasangan anak ini akan berubah dan menjadi dewasa sebagai manusia. Berkembang dan maju sebagai pasangan tidak akan tercapai saat menikah muda. Kembali lagi, seiring waktu dan matangnya usia, prioritas dan tujuan hidup pasti akan berubah, dan bisa jadi kedua pasangan berbeda 180 derajat.


Dampak penikahan anak tadi seharusnya menjadi alasan mengapa pernikahan anak perlu dipikirkan 1000 kali. Biarkan anak-anak berkembang dan bertumbuh selayaknya anak lainnya, dan suatu saat ketika ia siap, ia bisa menemukan pasangannya sendiri. Pasangan yang akan membawanya ke tingkat kehidupan yang lebih baik, bukan sebaliknya.



Sumber:

Unicef. Child-marriage

  • # Anak
  • # Pernikahan
  • # Psikologi Anak